BERMODALKAN kreativitas dan kemauan keras, material-material apapun ternyata mampu disulap menjadi sebuah pakaian trendi dan memancing decak kagum. Itulah yang dilakukan sekelompok mahasiswi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) saat mengikuti ajang Sampoerna Hijau Kotaku Hijau, di Lapangan Tegalega, Bandung, yang berlangsung 2-3 Agustus 2008 lalu.
Mengusung tema penyelamatan lingkungan, karya-karya mereka pun cukuplan dibilang unik. Pasalnya, material untuk bahan pakaian diambil dari sejumlah material barang bekas, seperti bola plastik, seng, tali sepatu, ban bekas motor, batok kelapa, CD (compact disc) hingga koran bekas.
Dengan bermodalkan imajinasi dan kreativitas, barang-barang tersebut disulap menjadi model pakaian yang tak pernah terlintas sebelumnya. Yang tak kalah menarik, pakaian tersebut tentu saja dibuat nyaman untuk para pemakainya.
"Pakaian yang kita rancang tentu saja harus didesain nyaman buat pemakainya," ujar Nisya, salah satu desainer yang mengusung konsep Flight 2020 untuk pakaian rancangannya. Dengan konsepnya itu, Nisya, memanfaatkan material ban bekas motor untuk rancangannya. Menurut Nisya, barang apapun, termasuk ban bekas, bukan hal yang tak mungkin untuk didaur ulang menjadi produk pakaian, asalkan dibutuhkan kreativitas dan keulatan yang tinggi.
Jika Nisya memanfaatkan ban bekas, lain cerita dengan Lia. Limbah seng, yang dianggap muskil dijadikan model pakaian, justru di tangan Lia menjadi model pakaian yang terlihat garang. Saat seorang model mengenakan pakaian rancangannya, ia pun tampil bak seorang ksatria perempuan, Xena. Tak heran kalau ia memberi judul untuk rancangannya dengan nama Warrior Princes.
Beragam rancancang disuguhkan dalam pertunjukan eco-fashion, yang menjadi bagian dari kampanye "Ayo Hijaukan Lingkungan Kita!" itu. Selain, memanfaatkan kedua material di atas, karpet plastik dengan tekstur kayu, atau bahkan CD bekas pakai pun disulap menjadi model pakaian yang terlihat menarik.
Menurut Yuvie Safitri, dosen pengajar STSI, bahan yang digunakan untuk rancangan mahasisinya tersebut diambil dari bahan-bahan non-tekstil.
"Kami menyebutnya recycle fashion. Ini perkembangan dari karya-karya mereka diperkuliahan, yang biasanya merancang kostum untuk pertunjukan apa itu teater atau tari," katanya.
Semangat untuk ikut menyuarakan penyelamatan terhadap lingkungan menjadi dasar rancangan mahasiswinya kali ini. Menurutnya, banyak dari masyarakat yang memandang sampah menjadi hal yang tak berguna. "Padahal kalau kita mau mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna tidak ada yang tak mungkin," katanya.
Tak hanya sekedar menyuarakan kampanye lingkungan, lewat ajang ini, Yuvie berharap kegiatan Eco-Fashion tersebut bisa memancing minat para desainer di Bandung, khususnya, untuk secara bersama-sama mewujudkan Bandung sebagai kota fashion.
"Ke depan kita berharap komunitas yang kami bangun bisa semacam IPMI (Ikatan Perancang Muda Indonesia) indie," harapnya.
Eko Hendrawan Sofyan
0 comments:
Post a Comment